![]() |
| Foto : Freepik.com |
Andaikan saya ingat nama kreatornya, pasti akan saya sebut namanya. Didalam kontennya dia mengatakan "main selot (judi online) itu adalah ket*l*lan tingkat paling ultimate," kira-kira seprti itu konteksnya dan saya sependapat.
Belajar dari kasus yang sudah-sudah, seperti indr*kenz, Donny sampai yang cukup ramai adalah penangkapan 12 orang yang diduga kelompok dibalik web selot "Mastertogel78.live".
Kasus itu membongkar fakta sekaligus membuka mata kita betapa para pemain ini dibodohi oleh para bandar.
Seperti yang dikatakan Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan bahwa pengembang permainan (judi) telah mengatur kalah menangnya pemain.
Bahkan menurut Ahmad, peluang kemenangan pemain ini disetting hanya sebesar 20 persen saja. Para pemain rela menghabiskan uang jutaan bahkan hingga ratusan juta hanya untuk bermain selot yang ujung-ujungnya kalah.
Konyolnya, mereka merengek minta dikasihani karena menganggap mereka adalah korban yang terjerumus ke lingkaran perjudian karena ketidaktahuan, sungguh membagongkan.
Pemain judi onlie bukanlah korban, mereka dengan sadar melakukannya. Asal diketahui, sebagaimana prinsip bisnis yaitu supply and demand, menjamurnya bandar judi online adalah karena tingginya permintaan. Mereka sebenarnya adalah pendorong utama di balik kelangsungan dan perkembangan industri ini.
Setiap taruhan yang mereka pasang, setiap transaksi yang mereka lakukan, secara tidak langsung memberikan asupan vital bagi bandar dan afiliatornya.
Meskipun mungkin terlihat sebagai individu yang "hanya bermain", justru peran pemain ini memiliki dampak yang jauh lebih luas, membantu menjaga laju industri perjudian ilegal tetap berjalan.
Kita semua tahu, hukuman bagi penjudi telah di atur pada Pasal 303 Ayat (1) KUHP, sedangkan untuk pasal perjudian online diatur dalam Pasal 27 Ayat (2) UU ITE No.11 Tahun 2008 dan UU Pasal 45 Ayat (2) No.19 Tahun 2016.
Berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UU ITE, sanksi dari pasal tersebut yaitu dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Tetapi aturan normatif tersebut tidak cukup mampu menjadi alasan taubatnya para pemain atau setidaknya menjadi penghalang bagi calon pemain. Tetap saja demandnya tinggi bahkan belakangan trendnya terus naik.
Pertanyaanya, kenapa permintaannya masih tinggi bahkan terus naik? analisis sederhana saya bisa jadi karena beberapa hal :
- Aksesibilitas dan Kemudahan
- Varian Permainan
- Iming-iming Hadiah dan Insentif
- Interaksi Sosial dan Komunitas Online
- Keleluasaan Waktu
- Daya Tarik Visual dan Desain Permainan
- Faktor Keberuntungan
- Perubahan Gaya Hidup Digital
Sulit dipungkiri bahwa faktor di atas tidak bisa dikontrol oleh sistem hukum. Maka dari itu bisa jadi pendekatannya lebih masuk akal dengan Sosial Budaya dan Dampak Ekonomi.
Saya hanya berandai-andai mungkin bisa dipertimbangkan, misal pembatasan akses kredit bank bagi pelaku judi. Mengapa akses kredit bank?
Setidaknya ini masalah kredibilitas seseorang terhadap pengelolaan uang. Fair lah jika bank tidak memberi akses kredit atau pembatasan kredit bagi penjudi.
Teknisnya bagaimana? saya kira penggiat hukum lebih paham bagaiamana. Sebab ini hanya masalah kreativitas dan kemauan untuk setop judi online sekaligus membrantas industri perjudian ilegal tanpa mengesampingkan edukasi komprehensif kepada masyarakat tentang dampak buruk judi online.
Dika.

